![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv_vtxcqSdRZ6PqSahlDb2pSgXu_mIUfQ4P4UzLr5cFhNWhaa5Re7dAJPKyqFoOM-O463ZLIZn7-0rcOjtRDvQamFisPvYnAlabjUb9GZgNOi0aumaGgaBA79x8qkNTD658YLLyFxfiUQ/s1600/nu.jpg)
LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU TAIMIYYAH
Dalam Al-Fataawaa Al-Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sbb, “Apakah boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya dan sebagainya, menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut kesepakatan ulama muslimin.”Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah bisa ditarik dua point berikut:
1) Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya kepada beliau. Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul.
Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang mempraktekkan tawassul.
Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau SAW, bukan maksud yang lain.
2) Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat keterangan bahwa beliau mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak hadits, di antaranya :Dari ‘Aisyah ra, ia berkata;
“Saat aku melihat Nabi SAW sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!”
Rasulullah pun berdoa : “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa belakangan, yang disembunyikan dan yang dilakukan dengan terang-terangan.”
‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah.
“Do’a itu adalah do’aku untuk ummatku yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut Nabi.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn Al-Manshur Ar-Ramadi, yang notabene dapat dipercaya. ( dikutip dari Majma’u Az-Zawaa-id).
Karena itu, sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ..dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap muslim yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan syafaat.
Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau yang berbunyi;
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakapcakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.”
Hadits ini diriwayatkan oelh Al-Hafidh Isma’il Al-Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u Az-Zawaa-id dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah SAW memohonkan ampunan (istighfar) untuk ummatnya.
Istighfar adalah doa dan ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.
Terdapat keterangan dalam sebuah hadits bahwa Nabi SAW bersabda :
“Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA).
Imam An-Nawaawi berkata : Isnad hadits ini shahih.
Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau SAW menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat manfaat dari doa beliau ini.
DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI SAW VERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYYAH
Di samping dalam sebagian tempat dari kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak.
Diperkenankannya tawassul dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Al-Fataawaa al-Kubraa.
Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula, salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh At-Turmudzi , “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi. Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah baik. (AlFataawaa jilid 3 hlm. 276). “Tawassul kepada Allah dengan selain beliau SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi SAW. Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al Sunan yang diriwayatkan oleh An-Nasai, At-Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mataku terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudlu’lah dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika kamu mempunyai keperluan maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun mengembalikan penglihatannya. Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul dengan Nabi SAW. (Al-Fataawaa jilid 1 hlm. 105).
Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam Al-Manasik-nya (Buku tata cara ibadah / manasik) yang ditulis untuk muridnya, Al-Marwazi, “Bahwasanya Nabi SAW bisa dijadikan sebagai obyek tawassul dalam do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW, karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” (Al-Fataawaa , jilid 1 hlm. 140).
WALLAHU.A'LAM