Cari Blog Ini

Selasa, 23 Agustus 2016

HAJI PENGABDI SETAN





Kajian Ulama.


Di setiap musim haji berakhir, jamaah haji Indonesia pun mulai berbondong bondong pulang ke Tanah Air. Bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah, hampir seluruhnya menjawab, ''Ingin.'' Hanya segelintir yang menjawab, "Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SAW."

Jawaban itu menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji. Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi, dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.

Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SAW dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Setelah Nabi SAW menguasai Mekkah (Fath Makkah) pada 12 Ramadan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.

Namun Nabi SAW tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian, Nabi SAW wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wida' (haji perpisahan).

Itu artinya, Nabi SAW berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SAW juga berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali. Mengapa?

Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SAW lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadan, Nabi SAW juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke Mekkah.

Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta'addiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta'addiyah.



Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta'addiyah, misalnya, oleh Nabi SAW, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.

Di Madinah, banyak ''mahasiswa'' belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SAW menanggung makan mereka. Ibadah muta'addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha'i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.

Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta'addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).

Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.

Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?

Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW? Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan karena setan.

Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat.

Jam terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya.

Wa Allah a'lam.


Minggu, 21 Agustus 2016

HUKUM ROKOK MENURUT JUMHUR ULAMA NAHDLATUL ULAMA BAG. II



بسم الله الرحمن الرحيم



Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

Wallahu a'lam..

(Rahman Alhafiz)

HUKUM ROKOK MENURUT JUMHUR NAHDLATUL ULAMA







بسم الله الرحمن الرحيم

Pembahasan tentang merokok belum muncul sejak awal kelahiran Islam. Pembahasan tentang hukum rokok oleh para ulama Islam baru muncul sekitar abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu. Pada masa ini, rokok mulai dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak saat itulah hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi.

Tentu saja dalam pembahasan ini perbedaan pendapat di antara para ulama pasti terjadi. Bahkan hingga saat ini kita menemukan banyak koleksi ilmuah mengenai keragaman pendapat tersebut.

Keragaman seperti apakah yang kyai maksudkan?

Sebagian di antara para ulama menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Nah perbedaan ini terus dapat kita ju,pai hingga sekarang, baik dalam bentuk teks-teks yang telah terbukukan maupun dalam fatwa-fatwa lisan.

Perbedaan ini terus memunculkan kontroversi sesuai dengan perkembangan wacana di masyarakat. Pada saat korupsi menjadi wacana yang kuat di tengah masyarakat, ternyata ada yang melontarkan gagasan menyamakan rokok dengan korupsi. Padahal hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian). Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham.

Apakah patokan umum dari kemunculan tinjauan hukum atas rokok?
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam QS. Al-Baqarah: 195, dan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Majah, No.2331. Bertolak dari dua nash itu, ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram.

Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan.

Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Jika diklasifikasi, ada berapa arus besar pandangan hukum tentang merokok?

Beberapa pendapat serta argumennya mengenai hukum merokok dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum. Pertama, hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua, hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga, hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.


Jika misalnya harus memilih, lalu hukum manakah yang paling tepat untuk rokok?

Merokok itu mubah atau makruh karena tidak terdapat mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Hukum ini berlaku selam tidak berlebihan. Apa saja bila berlebihan dan membawa mudarat yang signifikan, maka hukumnya haram.

Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi dan berisiko tinggi pula. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat. Kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah.

Adapun bentuk kemaslahatan dapat ditengarai berupa membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat karena kemudaratannya tentu jauh lebih besar dari manfaat tersebut.

Bisakah disebutkan alasan-alasan khusus yang mendasari pelarangan merokok oleh para ulama dan mengapa alasan itu ditentang oleh ulam lainnya?

Ketika hukum merokok menjadi objek bahasan para ulama' muncullah kontroversi. Bagi yang mengharamkannya. tidak kekurangan alasan untuk menjelaskan berbagai argumennya. Demikian sebaliknya, namun kalau menurut saya pribadi, mengharamkan rokok bukanlah sikap yang tepat. Di sini sekurang-kurangnya terdapat tujuh alasan berikut argumentasinya.

Pertama, kurang objektif bila mengharamkan merokok itu dengan alasan rokok membawa banyak mudarat yang berisiko tinggi. Berdasarkan pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis, merokok dapat mengakibatkan antara lain; kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin. Dengan kecanggihan teknologi sekecil apa pun kemudaratan pada rokok khususnya dapat ditemukan. Bagaimana pun semua itu masih dalam posisi praduga yang perlu dibuktikan secara nyata. Ada kemungkinan karena kecanggihan teknologi yang dapat menemukan sekecil apa pun kemudaratan itu justeru kemudian terkesan menjadi jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Apabila karekter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Jika rokok dianggap sebagai khobais karena unsur candu, menurut Kyai seperti apa?

Nah itulah aspek keduanya, sependek pandangan saya, adalah tanpa tendensi ketika dinyatakan, bahwa rokok tidaklah memabukkan. Dan jika tetap muncul dalih bahwa tidak memabukkan itu karena unsur kecanduan atau ketagihan, maka sangatlah sulit untuk dapat dibenarkan. Faktanya, tidak seorang pun yang tidak terbiasa merokok akan mabuk bila ia merokok untuk pertama kali.
Ketiga, suatu hal yang perlu saya nyatakan, bahwa tidak akurat manakala menetapkan hukum haram merokok dengan alasan kemudaratan rokok yang relatif kecil itu dihukumi haram dengan alasan rokok dalam ukuran banyak atau berlebihan adalah haram hukumnya. Ada kesalahpahaman dalam memahami hadits Nabi SAW. mengenai setiap benda dalam jumlah besar yang dapat memabukkan itu bila dalam jumlah sedikit pun tetap haram. Hadits tersebut pengertiannya terfokus pada benda yang secara tegas memabukkan atau berhukum haram karena meskipun hanya dalam ukuran sedikit tetap membawa mudarat yang lebih besar dari manfaatnya. Adapun benda-benda yang hakikatnya tidak memabukkan, tentu dalam ukuran sedikit tidak bisa dinyatakan haram meskipun dalam ukuran banyak benda itu diharamkan. Hal ini dapat dipahami, bahwa benda yang substansinya tidak haram itu dalam ukuran sedikit justeru tidak haram karena tidak terdapat mudarat.

Keempat, tidak berlebihan manakala saya nyatakan, bahwa tidak proporsional menetapkan hukum haram merokok karena terdapat unsur tabdzir (menyia-nyiakan harta). Persoalannya, selama merokok itu diyakini dengan hukum mubah atau makruh tetapi terdapat manfaat, maka tidak dapat dikategorikan tabdzir. Dalam contoh lain, satu orang mengendarai satu mobil, padahal sebenarnya hal itu bisa dilakuka dengan naik kendaraan umum yang tentunya tidak berlaku boros dan tidak pula membuat jalanan macet. Meskipun demikian, mengenadari satu mobil untuk satu orang itu tidak dikategorikan tabdzir karena terdapat manfaat.

Jika Rokok diharamkan karena secara substansial dianggap merugikan?
Saya nyatakan, bahwa tidaklah substansial mengharamkan merokok karena dapat mengganggu dan membawa mudarat bagi orang di sekitarnya. Masalah mengganggu dan menyebarkan mudarat bagi orang lain merupakan tindakan lain yang haram dilakukan, dan hal itu tidak menyangkut hakikat hukum rokok karena merokok dapat dilakukan dalam kesendirian yang sekiranya tidak mengganggu dan berdampak mudarat bagi orang lain, ini adalah unsur penolakan yang kelima.

Alasan keenam adalah menyamakan rokok dengan tindakan bunuh diri. Menurut saya sangat tidak rasional manakala menetapkan hukum haram merokok karena dianggap sama dengan bunuh diri secara perlahan. Sunggguh mengejutkan bila hal ini dijadikan alasan untuk mendasari hukum haram merokok. Tidak seorang pun memungkiri, bahwa bunuh diri itu haram dan dosa besar. Akan tetapi tidak rasional merokok disamakan dengan bunuh diri karena secara jelas merokok itu bukan dimaksudkan untuk bunuh diri. Tidak ada seorang pun senang untuk mati kecuali benar-benar telah frustasi.

Apakah alasan menuruti hawa nafsu dengan merokok juga tidak dapat dibenarkan?

Saya rasakan agak lucu menetapkan hukum haram merokok karena dinilai tidak ada tujuan yang sah atau semata-mata untuk kepentingan taladz-dzud (sekedar bernikmat-nikmat). Pada alasan ketujuh ini, terasa sangat janggal karena mencari kenikmatan itu mubah dan tidak diharamkan selama tidak mengarah kepada hal yang haram. Tidakkah setiap orang yang sudah kenyang kemudian dia makan makanan kecil atau meminum yang lezat itu berarti bermaksud mencari kenikmatan.

(Rahman hafiz)