Blog RAHMAN POST yang baru dirintis ini tidak lain Merupakan sebuah media berbagi informasi tentang semua materi-materi yang insya Allah bermanfaat khususnya bagi pribadi admin sendiri dan umumnya bagi para pengunjung serta pembaca sekalian. Selamat bergabung dan saya ucapkan terimakasih banyak. ABDURRAHMAN IBNU THURSINAA
Cari Blog Ini
Sabtu, 13 Desember 2014
AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH ADALAH MAYORITAS
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)
Maknanya: “Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di dalam neraka, dan hanya satu di dalam surga yaitu al-Jama’ah”. (HR. Abu Dawud).
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari semenjak abad permulaan, terutama pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, hingga sekarang ini terdapat banyak golongan (firqah) dalam masalah akidah. Faham akidah yang satu sama lainnya sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Karenanya, Rasulullah sendiri sebagaimana dalam hadits di atas telah menyebutkan bahwa umatnya ini akan terpecah-belah hingga 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah, dengan berbagai hikmah terkandung di dalamnya, walaupun kita tidak mengetahui secara pasti akan hikmah-hikmah di balik itu. Wa Allâh A’lam.
Namun demikian, Rasulullah juga telah menjelaskan jalan yang selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus di dalam kesesatan. Kunci keselamatan tersebut adalah dengan mengikuti apa yang telah diyakini oleh al-Jamâ’ah, artinya keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam. Karena Allah sendiri telah menjanjikan kepada Nabi bahwa umatnya ini tidak akan tersesat selama mereka berpegang tegung terhadap apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan mengumpulkan mereka semua di dalam kesesatan. Kesesatan hanya akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.
Mayoritas umat Rasulullah, dari masa ke masa dan antar generasi ke generasi adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka yang mengikuti jejak para sahabat tersebut dalam meyakini dasar-dasar akidah (Ushûl al-I’tiqâd). Walaupun generasi pasca sahabat ini dari segi kualitas ibadah sangat jauh tertinggal di banding para sahabat Rasulullah itu sendiri, namun selama mereka meyakini apa yang diyakini para sahabat tersebut maka mereka tetap sebagai kaum Ahlussunnah.
Dasar-dasar keimanan adalah meyakini pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Imâm as-Sittah) dengan segala tuntutan-tuntutan yang ada di dalamnya. Pokok-pokok iman yang enam ini adalah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang dikenal dengan hadist Jibril:
الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ باللهِ وَمَلائِكَتهِ وَكُتُبهِ وَرُسُلهِ وَاليَوم الآخِر وَالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (روَاهُ البُخَاري وَمُسْلم)
Maknanya: “Iman adalah engkau percaya dengan Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, serta beriman dengan ketentuan (Qadar) Allah; yang baik maupun yang buruk” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian al-Jamâ’ah yang telah disebutkan dalam hadits riwayat al-Imâm Abu Dawud di atas yang berarti mayoritas umat Rasulullah, yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, telah disebutkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah dalam haditsnya, sebagai berikut:
أُوْصِيْكُمْ بأصْحَابِي ثمّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثمّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، (وفيْه): عَلَيْكُمْ بالجَمَاعَةِ وَإيّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإنّ الشّيْطاَنَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أبْعَد، فَمَنْ أرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ (رَواهُ التّرمِذيّ وَقالَ حسَنٌ صَحيْحٌ، وصَحّحَه الحَاكِم)
Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka”. Dan termasuk dalam rangkaian hadits ini: “Hendaklah kalian berpegang kepada mayoritas (al-Jamâ’ah) dan jauhilah perpecahan, karena setan akan menyertai orang yang menyendiri. Dia (Setan) dari dua orang akan lebih jauh. Maka barangsiapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh kepada (keyakinan) al-Jamâ’ah”. (HR. at-Tirmidzi. Ia berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Imâm al-Hakim).
Kata al-Jamâ’ah dalam hadits di atas tidak boleh diartikan dengan orang-orang yang selalu melaksanakan shalat berjama’ah, juga bukan jama’ah masjid tertentu, atau juga bukan dalam pengertian para ulama hadits saja. Karena pemaknaan semacam itu tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini, juga karena bertentangan dengan kandungan hadits-hadits lainnya. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jamâ’ah adalah mayoritas umar Rasulullah dari segi jumlah. Penafsiran ini diperkuat pula oleh hadits riwayat al-Imâm Abu Dawud di atas. Sebuah hadits dengan kualitas Shahih Masyhur. Hadits riwayat Abu Dawud tersebut diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh orang sahabat Rasulullah. Hadits ini memberikan kesaksian akan kebenaran apa yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Nabi Muhammad, bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Dari segi jumlah, firqah-firqah sempalan 72 golongan yang diklaim Rasulullah akan masuk neraka seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud ini, adalah kelompok yang sangat kecil dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kemudian di kalangan Ahlussunnah dikenal istilah “Ulama Salaf”; mereka adalah orang-orang terbaik dari kalangan Ahlussunnah yang hidup pada tiga abad pertama tahun hijriah. Tentang para ulama Salaf ini, Rasulullah bersabda:
خَيْرُ القُرُوْنِ قَرْنِيْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رَوَاهُ التّرمِذِيّ)
Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abad-ku (periode sahabat Rasulullah), kemudian abad sesudah mereka (periode Tabi’in), dan kemudian abad sesudah mereka (periode Tabi’i at-Tabi’in)” (HR. at-Tirmidzi).
Ahlussunnah Adalah Kaum Asy’ariyyah Dan Maturidiyyah
Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk hukum yang berkembang dalam disiplin ilmu fiqih yang digali dari berbagai dalil-dalil syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharîh, maupun karena adanya perbedaan konteks. Demikian maka perbedaan pendapat dalam produk hukum ini sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, setiap produk hukum yang berbeda-beda ini selama dihasilkan dari tangan seorang ahli ijtihad (Mujtahid Muthlak) maka semuanya dapat dijadikan sandaran dan rujukan bagi siapapun yang tidak mencapai derajat mujtahid, dan dengan demikian masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Bagi kita, para ahli taqlîd; orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.
Dari sekian banyak imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasil-hasil ijtihadnya dan hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya terbatas kepada Imam madzhab yang empat saja, yaitu; al-Imâm Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, al-Imâm Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali. Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn) yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan teologi. Demikian pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya, mereka merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah). Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai karya tentang biografi mereka.
Pada periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah fiqih sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas. Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti al-Imâm Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga al-Imâm asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar, perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.
Seiring dengan semakin menyebarnya berbagai penyimpangan dalam masalah-masalah akidah, terutama setelah lewat paruh kedua tahun ke tiga hijriyah, yaitu pada sekitar tahun 260 hijriyah, yang hal ini ditandai dengan menjamurnya firqah-firqah dalam Islam, maka kebutuhan terhadap pembahasan akidah Ahlussunnah secara rinci menjadi sangat urgen. Pada periode ini para ulama dari kalangan empat madzhab mulai banyak membukukan penjelasan-penjelasan akidah Ahlussunnah secara rinci hingga kemudian datang dua Imam agung; al-Imâm Abu al-Hasan al-As’yari (w 324 H) dan al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H). Kegigihan dua Imam agung ini dalam membela akidah Ahlussunnah, terutama dalam membantah faham rancu kaum Mu’tazilah yang saat itu cukup mendapat tempat, menjadikan keduanya sebagai Imam terkemuka bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kedua Imam agung ini tidak datang dengan membawa faham atau ajaran yang baru, keduanya hanya melakukan penjelasan-penjelasan secara rinci terhadap keyakinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya ditambah dengan argumen-argumen rasional dalam mambantah faham-faham di luar ajaran Rasulullah itu sendiri. Yang pertama, yaitu al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, menapakan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm asy-Syafi’i. Sementara yang kedua, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi menapakan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm Abu Hanifah. Di kemudian hari kedua madzhab Imam agung ini dan para pengikutnya dikenal sebagai al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah.
Penamaan Ahl as-Sunnah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah, dan penamaan al-Jamâ’ah untuk menunjukan para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar dari umat Rasulullah. Dengan penamaan ini maka menjadai terbedakan antara faham yang benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan faham-faham firqah sesat seperti Mu’tazilah (Qadariyyah), Jahmiyyah, dan lainnya. Akidah Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah sebagai akidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah keyakinan mayoritas umat Islam dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk dalam golongan Ahlussunnah ini adalah para ulama dari kalangan ahli hadits (al-Muhadditsûn), ulama kalangan ahli fiqih (al-Fuqahâ), dan para ulama dari kalangan ahli tasawuf ash-Shûfiyyah).
Penyebutan Ahlusunnah dalam dua kelompok ini (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah) bukan berarti bahwa mereka berbeda satu dengan lainnya, tapi keduanya tetap berada di dalam satu golongan yang sama. Karena jalan yang telah ditempuh oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Mansur al-Maturidi di dalam pokok-pokok akidah adalah jalan yang sama. Perbedaan yang terjadi di antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah hanya dalam masalah-masalah cabang akidah saja (Furû’ al-‘Aqîdah), yang hal tersebut tidak menjadikan kedua kelompok ini saling menghujat atau saling menyesatkan satu atas lainnya. Contoh perbedaan tersebut, prihal apakah Rasulullah melihat Allah saat peristiwa Mi’raj atau tidak? Sebagian sahabat, seperti Aisyah, Abdullah ibn Mas’ud mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah tidak melihat Allah. Sedangkan sahabat lainnya, seperti Abdullah ibn Abbas mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah melihat Allah dengan mata hatinya. Dalam pendapat Abdullah ibn Abbas; Allah telah memberikan kemampuan kepada hati Rasulullah untuk dapat melihat-Nya. Perbedaan Furû’ al-‘Aqîdah semacam inilah yang terjadi antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, sebagaimana perbedaan tersebut telah terjadi di kalangan sahabat Rasulullah. Kesimpulannya, kedua kelompok ini masih tetap berada dalam satu ikatan al-Jamâ’ah, dan kedua kelompok ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang disebut dengan al-Firqah an-Nâjiyah, artinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.
(IBNU THURSINAA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar