Blog RAHMAN POST yang baru dirintis ini tidak lain Merupakan sebuah media berbagi informasi tentang semua materi-materi yang insya Allah bermanfaat khususnya bagi pribadi admin sendiri dan umumnya bagi para pengunjung serta pembaca sekalian. Selamat bergabung dan saya ucapkan terimakasih banyak. ABDURRAHMAN IBNU THURSINAA
Cari Blog Ini
Kamis, 11 Desember 2014
DIALOG SYAIKH AL-SYANQITHI VS WAHHABI TUNA NETRA
Kelompok Salafi/Wahabi ini percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya.
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut. Dengan adanya keyakinan seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual atau literal dan jauh dari makna Majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (umpama Dia Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) diatasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah diantara ummat Islam dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari Madzhab yang lain.
Berkaitan dengan pemahaman wahabi salafi tersebut ada sebuah kisah menarik antara Syeikh Al-Syanqithi dengan seorang wahabi tuna netra sbb:
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Saw. dalam sabdanya : “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka menyembelih Syaikh Abdullah Al-Zawawi, guru para ulama madzhab Al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh Al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah Al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi Saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah Al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam Al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an :
وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلا
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada majaz ?”
Mendengar sanggahan Syaikh Al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya iapun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Kisah keberanian kaum Wahhabi untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini hanya terjadi pada awal-awal berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Kini para ulama Wahhabi tidak pernah lagi berani untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik diTimur Tengah maupun di Tanah Air, setelah mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menang berdebat dengan para ulama.
"Ya Allah, selamatkan kami hingga keturunan-keturunan kami dari faham dan aqidah yang melenceng. AMIN."
(IBNU THURSINAA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar