Cari Blog Ini

Senin, 15 Desember 2014

KUPAS TUNTAS TENTANG TAWASSUL  bag.2





KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP  MAKNA PENGKHUSUSAN PADA HADITS


Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi menyangkut tema ini (sesuai dengan informasi yang dimiliki pada saat itu) tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran maknanya.
Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian.
Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah faham, dan kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus.

Dalam Al-Fataawaa jilid 11 hlm 96 Ibnu Taimiyyah menulis sbb :

Muhammad adalah junjungan anak Adam, makhluk paling mulia dan mulia di sisi Allah. Karena itu ada orang berpendapat bahwa karena beliau Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan menciptakan ‘Arsy, kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan.
Tapi pandangan ini bukanlah hadits Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber dari para sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang pengucapnya misterius dan bisa ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah yang artinya : "Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan."  (Q.S. Luqman : 20).
"Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungaisungai." (Q.S. Ibrahim : 32).
 ”Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Q.S. Ibrahim : 32-33).
dan ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk anak cucu Adam. Sudah maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut.

Namun, didalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat yang tercakup di dalamnya.

Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada hikmah lain.
Demikian pula ucapan seseorang : Jika tidak karena ini maka Allah tidak akan menciptakan itu, bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih yang paling utama, yakni Muhammad, dimana penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.


ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH YANG HILANG DARI BENAK PARA PENGIKUTNYA

Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah, jauhnya dan dalamnya pemahaman beliau dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan populer ini.

dalam masalah ini terdapat hadits yang menggambarkan tawassul Nabi Adam, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dinilai shahih oleh mereka yang mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits yang menerimanya.

Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri mengatakan; “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.” Di manakah posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini dari pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan mereka yang berpendapat seperti Ibnu Taimiyyah dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat kemudian dengan bohong mengklaim sebagai pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah dan kaum salaf. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut pengagungan terhadap Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan, keagungan dan kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan merenung.

Dari sini, akan tampak padanya sikap protektif terhadap status tauhid atau fanatisme terhadap tauhid.

  *Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul

Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassul Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia berkata, “Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”,“Mau, wahai Jibril.”,“Berdirilah di tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu agungkanlah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.” “Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”,“Ucapkanlah : Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu dan bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau mengampuni kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.“Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan merenung, maka saya melihat pada kaki ‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena saya tidak melihat nama malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi rasul lain selain Muhammad, sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di sisi-Mu. “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah mengampunimu.”  Dikutip dari Ad-Durr al-Mantsuur jilid 1 hlm. 146.

Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya dan tokoh mereka. Enam Imam hadits meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain RA.


*Hadits Pendukung Keempat untuk Hadits Tawassul

Hadits keempat pendukung tawassul Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar Al-Aajuri dalam Kitab As-Syarii’ah. Ia berkata, “Harun ibn Yusuf At-Tajir bercerita kepadaku.” Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdirrahman ibn Abi Az-Zinaad dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang dengannya Allah menerima taubat Adam adalah : Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad ?” “Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘arsy-Mu : Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah. Maka saya tahu, ia adalah makhluk-Mu yang paling mulia.” Jawab Adam. Sebagaimana diketahui penggabungan atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid membuat hadits ini kuat.


*Surga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw Memasukinya

Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah bahwa sorga haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :
 “Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke dalamnya.”  (HR At-Thabarani dalam Al-Awsath).
Menurut Al-Haitsami isnad hadits ini hasan. (Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id jilid 10 hlm. 69).


*Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad SAW

Salah satu contoh karunia Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di Al-Mala’ alA’laa (alam Malaikat muqarrabun) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ab ibn Al-Akhbaar berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan tongkat kepada Adam sebanyak jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam mendatangi putranya, Syits dan berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena aku melihat namanya tertulis pada kaki ‘Arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit aku melihat nama Muhammad tertulis padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di sorga dan di sorga aku tidak melihat istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar sorga, daun pohon thuba, daun sidratul muntaha, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat. Perbanyaklah menyebut nama Muhammad karena para malaikat selalu menyebut namanya setiap waktu.” (Al-Mawaahib al-Laduniyyah jilid 1 hlm. 187).

Dalam syarhnya Az-Zurqaani mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.”  Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat bahwa Allah SWT telah menulis nama Muhammad di atas ‘Arsy, pintu, kubah, dan dedaunan sorga.” tulis Ibnu Taimiyyah.
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggaan nama beliau.

Dalam salah satu riwayat dari Ibnul Jauzi dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”  (Al-Fataawaa jilid 2 hlm 150).

*Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassul Adam :

Dalam hadits di atas, menegaskan tawassul dengan Rasulullah SAW sebelum alam semesta mendapat kehormatan dengan keberadaan beliau dan bahwa tolok ukur keabsahan tawassul ialah bahwa orang yang dijadikan obyek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, serta tidak disyaratkan ia masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapapun tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.


*Kesimpulan Dari Analisa Terhadap Status Hadits Tawassul Adam :

Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi hadits-hadits pendukung, dan dikutip oleh elite-elite ulama dan para pakar (a-immah) hadits dan penghapalnya yang memiliki posisi luhur dan kedudukan tinggi.
Mereka adalah orang-orang yang kuat menyangkut As-Sunnah An-Nabawiyyah seperti Al-Hakim, As-Suyuthi, As-Subki dan Al-Bulqini. Hadits tersebut juga dikutip oleh Al-Bulqini dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak akan mengeluarkan hadits maudlu’, dan dikomentari oleh Adz-Dzahabi dengan, “Berpeganglah dengannya, karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” ( dikutip dari Syarhul Mawahib dan kitab lain ).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Al-Fataawaa. Adapun pro kontra dari para ‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang aneh. Karena banyak hadits yang menimbulkan polemik lebih besar dan mendapat kritikan lebih tajam.
Berangkat dari pro kontra ini, munculah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian, peninjauan, dan kecaman. Namun tidak sampai melontarkan tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan menyangkut status salah satu dari beberapa hadits. Dan hadits tawassul Adam ini, termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.

 TAWASSUL ORANG-ORANG YAHUDI DENGAN NABI SAW

 Allah berfirman :  "Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon ( kedatangan Nabi ) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la`nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu." (Q.S. Al-Baqarah : 89)

Imam Al Qurtubi berkata “ Firman Allah : Walamma jaa’ahum, yakni orang Yahudi, Kitaabun yakni Al Qur’an, Min ‘indillahi mushoddiqun, sifat dari kitaabun. Diluar AlQuran boleh dibaca nashab sebagai hal.
Pada mushaf Ubay dalam sebuah riwayat mushoddiqun dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil dimana Alqur’an mengabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakaanu min qablu yastaftihuuna, yakni memohon pertolongan.
Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; lewat do’a dan sholat mereka. Dalam Al Quran terdapat ayat:  "Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (An nashr) kepada rasul-NYA atau suatu keputusan dari sisinya." (Q.S. Al-Maaidah : 52).

An-Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup dan Al-Fathu merujuk kepada kecaman orang arab fatahtu albaaba.
An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi bersabda :

  “Sesungguhnnya Allah menolong umat ini berkat orang-orang lemah mereka; sebab do’a, shalat dan keikhlasan mereka.”
An Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda :
  “Carilah keridloanku dengan berbuat baik kepada orang lemah karena kalian mendapat pertolongan dan rizki hanya berkat mereka.”

Ibnu Abbas berkata : “Dahulu Yahudi Khaibar berperang dengan Ghothafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang Yahudi berdo’a dengan ungkapan : “Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemulyaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan umtuk kami di akhir zaman guna menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.”
 Ibnu Abbas berkata : “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan do’a ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan.



TAWASSUL DENGAN NABI SEWAKTU HIDUP DAN SESUDAH WAFAT

 Dari ‘Utsman ibn Hunaif RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saat datang kepada beliau seorang lelaki tuna netra yang mengadukan kondisi penglihatannya. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya mengadu.
Maka Rasulullah SAW bersabda :
 “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah, “Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku."

Utsman berkata, “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.”
Al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah hadits yang isnadnya shahih, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.”
Versi Adz-Dzahabi status hadits itu shahih. (Jilid 1 hlm. 519).
Turmudzi berkata dalam Abwaabu Ad-Da’awaat pada bagian akhir dari AsSunan, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits Abi Ja’far yang bukan Al-Khathmi.  Menurut saya yang benar adalah bahwa Abu Ja’far itu Al-Khathmi al-Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat At-Thabarani, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi.
Dalam Al-Mu’jam, Al Tahabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya.
Al-‘Allamah AlMuhaddits Al-Ghimari dalam risalahnya “Ithaaful Adzkiyaa’” berkata, “Tidaklah logis jika para hafidh sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul (misterius) khususnya Adz-Dzahabi, Al-Mundziri dan Al-Hafidh.”
Berkata Al-Mundziri, “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. (At-Targhib, kitab An-Nawaafil, bab At-Targhib fi shalatilhajat jilid 1 hlm. 438 ).

Tawassul tidak khusus hanya pada saat Nabi SAW masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah beliau wafat.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh At-Thabarani dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sbb : seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. “Pergilah ke tempat wudlu, “ suruh ‘Utsman ibn Hunaif, “lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian bacalah doa’ :
 "Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat dengan engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.” Dan sebutkanlah keperluanmu….! Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tanggannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Utsman mempersilahkan keduanya duduk di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu,” tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaif dan menyapanya, “ Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau berbicara dengannya. “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar ?” kata beliau. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah do’a ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Kata Utsman ibn Hunaif.

Al-Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Thabarani.” Setelah menyebut hadits ini At-Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” ( At-Targhib jilid 1 hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’u Az-Zawaid. Jilid 2 hlm. 279 ).

Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “At-Thabarani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Utsman ibn Amr sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah Al-Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”Kata penulis, “Ibnu Taimiyyah berkata, “At-Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Utsman ibn Umair sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh ibn Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini adalah isnad yang shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian meriwayatkan hadits.” (Qa’idah Jalilah fi atTawassul wal Wasilah. hlm 106).



Dari paparan di atas, nyatalah bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh At-Thabarani AlHafidh Abu Abdillah Al-Maqdisi. Penilaian shahih ini juga dikutip oleh Al-Hafidh AlMundziri, Al-Hafidh Nuruddin Al-Haitsami dan Syaikh Ibnu Taimiyyah.

Kesimpulan dari kisah di muka adalah bahwa Utsman ibn Hunaif, sang perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan do’a yang berisi tawassul dengan Nabi SAW dan memanggil beliau untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi SAW, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau SAW. Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya.


PENGGUNAAN  LAIN  DAN  DUKUNGAN  IBNU  TAIMAIYYAH  TERHADAPNYA

Terdapat riwayat dari Ibnu Abi ad-Dunyaa dalam kitab Mujaabi ad-Du’aa, ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku : “Saya mendengar Katsir ibn Muhammad ibn Katsir ibn Rifa’ah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Abdil Malik ibn Sa’id ibn Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan berkata, “Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh. “Penyakit apa?” tanya Abdil Malik. “Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya mampu membunuh penderita.” Jawab sang lelaki itu. “Lelaki itu lalu berpaling.” Kata Katsir. “Allah, Allah, Allah Tuhanku, “ucap Abdul Malik, “Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa diriku. “Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.” Ibnu Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat bahwa do’a ini dan do’a semisal telah diriwayatkan sebagai do’a yang dibaca oleh generasi salaf.” ( HR. Ibnu Taimiyyah dalam Qa’idah Jalilah hlm. 94 ).
Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan mengarahkannya sesuai keinginannya sendiri. Namun yang penting bagi kami di sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap do’a itu dan tercapainya kesembuhan berkat do’a itu. Penegasannya dalam masalah inilah yang penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk berargumentasi sesuai seleranya.


*Upaya-upaya yang gagal

 Sebagian golongan yang mendakwakan diri mereka sebagai penagnut manhaj salaf ramai memberi komentar seputar hadits tawassul Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan berteriak-teriak dalam menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena betapa pun mereka menolak hadits-hadits tentang tawassul, para tokoh mereka yang notabene ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh di atas mereka telah menyuarakan opininya. Seperti Al Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Al ‘Izz ibn ‘Abdissalam, dan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara khusus tentang tawassul dengan Nabi SAW. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru dalam Fataawaa, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan furu’ bukan prinsip.


Syaikh Al‘Allamah Al-Muhaddits Abdullah Al-Ghimari (Ulama Kontemporer asal Maroko) telah menyusun sebuah risalah khusus berisi kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbaahu al-Zujaajah fi Shalaati al Haajah. Dalam risalah ini, beliau menulis dengan baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.


 *Tawassul dengan Nabi SAW di pelataran hari kiamat

Adapun tawassul dengan Nabi SAW di pelataran hari kiamat, maka tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar. Karena hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawatir. Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi SAW.
Sehingga ketika mereka memohon pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah untukku,” ucap beliau. Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan, “Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan diterima.”  Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi, rasul dan semua orang mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami puncak krisis dengan orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridlo Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar